Abstract
Biogas is generally contains 50-75% methane (CH4), 25-45% carbon dioxide (CO2), < 1 ppm of hydrogen sulfide gas (H2S), < 2% nitrogen gas (N2), < 1 hydrogen gas (H2) and < 2 ppm oxygen gas (O2). CO2 gases would harm the biogas combustion process. that's why the purified biogas advance using natural zeolite. biogas pre and post purification were tested through AFR testing and flame characteristics. The result could be concluded that the characteristics of flames approaching to be stoichiometric, equivalence ratio approaches a value of 1 at with variation the mass flow rate of fuel on scale of 0,25, 0,75 ml of 0,5 occurred at AFR 17,59:1 with equivalence ratio value of 0,98 on a scale of 1.0 ml while the overall characteristic of with AFR variation is rich mixture. Flame speed and flame height with AFR variations indicated that the higher AFR value was given then the higher the flame speed conversely the flame hight to the lower. The phenomenon of blow-off flame at AFR 29,32:1 (0.25 and 0.5) with the velocity of the reactants at 95.03 cm/s due to the condition of the flame blow-off so that the same method of measuring the speed of at previous AFR couldn’t be known with certainty the flame speed value. But at AFR 29,32:1 predicted flame speed higher than the flame speed at the previous AFR.
Key words : Air Fuel Ratio (AFR), biogas, flame characteristics, natural zeolite
Pendahuluan
Biogas adalah salah satu sumber bioenergi yang terus dikembangkan. Biogas merupakan sumber energi terbarukan yang dihasilkan secara anaerobic digestion atau fermentasi anaerob dari bahan organik seperti sampah, sisa-sisa makanan, kotoran ternak dan limbah industri makanan. Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam biogas yaitu 50-75% gas metana (CH4), 25-45% gas karbon dioksida (CO2), < 1 ppm gas hidrogen sulfida (H2S), < 2 % gas nitrogen (N2), < 1 gas hidrogen (H2) dan < 2 ppm gas oksigen (O2) [1].
Dalam proses pembakaran, gas-gas selain metana (CH4) tersebut akan menurunkan nilai kalor biogas dan efisiensi pembakarannya. Gas CO2 akan merugikan pada proses pembakaran karena dalam reaksi pembakaran CO2 merupakan gas hasil reaksi pembakaran yang tidak bisa terbakar lagi sebagaimana reaksi berikut [2]:
CH4 (g) + 2 O2 (g) --> CO2 (g) + 2 H2O (l)
Salah satu metode untuk meningkatkan performa biogas dapat dilakukan melalui proses adsorpsi. Material yang digunakan sebagai adsorben umumnya material yang berpori terutama pada letak tertentu dalam partikel [3]. Salah satu adsorben padat yang berpotensi untuk memurnikan metana (CH4) tersebut adalah zeolit.
Seberapa besar pengaruh kadar karbondioksida jika ditinjau dari karakteristik pembakaran, maka perlu adanya suatu pengamatan atau penelitian. Pembakaran itu sendiri adalah reaksi kimia antara bahan bakar dan pengoksidan (oksigen atau udara) yang menghasilkan panas dan cahaya. Panas atau energi yang dipakai untuk mengaktifkan molekul-molekul bahan bakar disebut energi aktivasi [4].
Beberapa penelitian yang membahas karakteristik pembakaran dan membuktikan bahwasanya karbondioksida merupakan penghambat atau menurunkan laju reaksi kimia, dalam hal ini reaksi kimia pembakaran, misalnya menambahkan karbondioksida sebesar 25% dan 50% pada pembakaran dengan bahan bakar LPG pada campuran stoikiometri. Pengamatan secara visual bahwa nyala api pembakaran sempurna tanpa karbondioksida berwarna biru. Penambahan 25% dan 50% karbondioksida menyebabkan warna api cenderung kekuningan yang menunjukkan pembakaran tidak sempurna yaitu sebagian karbon tidak terbakar. Warna api menunjukkan jenis ion yang berbentuk selama proses pembakaran. Warna api merupakan panjang gelombang dari getaran ion yang dominan dalam api [5].
Selain itu, pengaruh perbandingan campuran udara-bahan bakar juga memegang peranan penting dalam menentukan hasil dari suatu proses pembakaran yang juga mempengaruhi pada karakteristik api yang dihasilkan. Pada campuran udara-bahan bakar atau Air Fuel Ratio (AFR) stoikiometri menghasilkan kecepatan pembakaran dengan nilai tertinggi [6]. Kecepatan pembakaran adalah merupakan salah satu karakteristik api yang nantinya juga akan mempengaruhi stabilitas api. Stabilitas api berkaitan erat dengan kondisi nyala tersebut dimana salah satu faktor yang mempengaruhi stabilitas api adalah bentuk ruang bakar (geometri burner) [7].
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Pranoto et al (2013) menunjukkan bahwa variasi Air Fuel Ratio (AFR) mempengaruhi pola api pembakaran premixed minyak kapuk dan udara. Dengan massa alir bahan bakar yang tetap, penambahan massa alir udara mempengaruhi perubahan AFR yang juga berpengaruh pada stabilitas api. Penambahan massa alir udara yang lebih besar menyebabkan difusivitas massa lebih besar dari difusivitas panas yang menimbulkan lift off hingga akhirnya api padam [8].
Dari beberapa penelitian diatas dapat diketahui adanya inhibitor dan variasi AFR merupakan faktor yang perlu menjadi perhatian dalam proses pembakaran dan karakteristik nyala api, maka perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan keduanya pada biogas yang mana memiliki struktur kimia berbeda dengan bahan bakar fosil pada umumnya namun mempunyai potensi besar sebagai bahan alternatif pengganti bahan bakar fosil. Dari eksperimen ini akan diteliti lebih lanjut perbandingan karakteristik nyala api pembakaran biogas sebelum dan sesudah purifikasi dengan zeolit alam dalam variasi AFR yang nantinya diharapkan dapat dijadikan dasar dalam upaya meningkatkan nilai kalor bahan bakar biogas dan efisiensi pembakaran yang tinggi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan pertambahan berat dan warna zeolit alam sebagai indikator efektifitas penurunan gas karbondioksida CO2 sebelum dan sesudah dilakukan proses purifikasi biogas.
Metodologi Penelitian
Alat dan Bahan Penelitian
Peralatan dan bahan yang digunakan dalam pengujian adalah sebagai berikut:
Zeolit alam
KOH (kalium hidroksida)
Simpel bunsen burner OMM
Timbangan digital
Video recorder Sony HRD
Kompresor biogas
Blower udara
Prosedur Pengujian
Tahap sirkulasi biogas
Pada eksperimen ini zeolit alam terlebih dahulu dilakukan proses meshing untuk mendapatkan ukuran mesh 4. Proses aktivasi secara kimia dengan menambahkan basa kuat KOH (kalium hydroxide) dengan konsentrasi 10% sebanyak 500 ml kemudian dilanjutkan proses heat treatment dalam oven dengan temperatur 150 oC selama 24 jam dan 300 oC selama 2 jam secara manual pada. Zeolit digunakan untuk purifikasi biogas dengan variasi waktu kontak: 30 menit, 60 menit, 90 menit, 120 menit, 150 menit, 180 menit, 210 menit dan 240 menit. Metode sirkulasi biogas yang digunakan adalah sistem kontinyu, Skema purifikasi dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Skema pemurnian biogas
Keterangan gambar:
1. Digester biogas
2. Stopkran
3. Safety valve
4. Pipa PVC
5. Gas holder I
6. Kompresor I
7. Kran gas
8. Alat purifikasi
9. Zeolit alam
10. Purified Gas holder
11. Kompresor II
Tahap pengujian karakteristik nyala api
Pengujian karakteristik nyala api menggunakan biogas pra dan pasca purifikasi. Biogas yang tertampung pada gas holder dikompresi kemudian diukur debit aliran bahan bakar dicatat kemudian dimasukkan ke dalam skala manometer 0,25, 0,5, 0,75 dan 1,0 ml. Cara tersebut juga digunakan untuk mengukur debit aliran udara yang diperoleh dari blower, hasilnya dicatat kemudian dimasukkan ke dalam skala manometer 0,25, 0,5, 0,75, 1,0, 1,25, 1,5, 1,75, 2,0, 2,25, 2,5 ml. Skema proses dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Skema instalasi pengujian karakteristik nyala api
Keterangan gambar:
1. Video recorder
2. Tripod
3. Bunsen burner
4. Manometer biogas
5. Manometer udara
6. Kran biogas
7. Kran udara
8. Biogas holder
9. Blower udara
Proses perekaman nyala api menggunakan video recorder Sony HRD, kemudian menyalakan bunsen burner dengan pemantik api. Selanjutnya Melakukan perekaman dengan mengatur kran udara ke posisi 2,25, 2,0, 1,75, 1,5, 1,25, 1,0, 0,75, 0,5, dan 0,25. Dengan jarak waktu perpindahan 10 detik.
Hasil Penelitian
Hasil Purifikasi Biogas Menggunakan Zeolit Alam
Berikut adalah gambar zeolit pra dan pasca purifikasi:
(a) Zeolit alam; (b) Pasca aktivasi kimia; (c) Pasca aktivasi fisik; (d) Pasca purifikasi 240 menit
Gambar 3. Zeolit alam
Pada Gambar 3, dapat diamati bahwa warna zeolit alam sesudah dilakukan proses aktivasi kimia menggunakan basa kuat KOH mengalami perubahan warna yaitu yang semula berwarna kuning kehijauan (Gambar 3a) menjadi berwarna hijau cerah (Gambar 3b) sedangkan warna setelah proses heat treatment menjadi hijau keabu-abuan dan setelah proses purifikasi berwarna hijau kecoklatan. Setelah heat treatment (Gambar 3c) perubahan warna tersebut disebabkan zeolit alam mengalami dehidrasi dengan melepaskan molekul-molekul air [2]. Pada Gambar 4d warna abu-abu kehitaman tersebut terjadi karena terbentuknya lapisan tipis pada permukaan zeolit perubahan warna tersebut menunjukkan bahwa zeolit dalam keadaan jenuh [2].
Hasil Purifikasi Uji Pertambahan Berat Zeolit
Data hasil pengujian pemurnian biogas dengan menggunakan zeolit alam dengan menganalisa pertambahan berat zeolit pada setiap variasi waktu kontak. Pertambahan berat zeolit setelah purifikasi dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 1. Berat zeolit sebelum dan sesudah purifikasi
Tabel 2. Laju aliran massa biogas
Tabel 3. Laju aliran massa udara
Pada Tabel 2 di atas, laju aliran massa biogas diperoleh dengan perhitungan dengan mengalikan laju aliran volume bahan bakar (biogas) (q) dengan densitas biogas (ρ) = 1,1 kg/Nm3. Sedangkan Tabel 3 laju aliran volume udara dikalikan dengan densitas udara (ρ) = 1,29 kg/m3. Data tersebut dikonversi ke dalam skala manometer 0,25; 0,5; 0,75 dan 1 sebagai indikator laju aliran massa bahan bakar dibanding dengan variasi laju aliran udara 0,25; 0,5; 0,75; 1; 1,25; 1,5; 1,75; 2; 2,25 dan 2,50 untuk menentukan nilai AFR (Air Fuel Ratio), rasio ekivalen dan jenis campuran (rich, stoikiometric atau lean) pada pembakaran biogas.
Pembahasan
Pengaruh Waktu Kontak terhadap Pemurnian Biogas
Pada proses pengujian pemurnian biogas menggunakan zeolit alam bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu kontak terhadap permil daya serap (‰adsorption) zeolit dalam menyerap gas karbon dioksida dalam biogas. Pengamatan berat zeolit disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Grafik perbandingan berat zeolit
Dari Gambar 4, dapat diamati bahwa berat zeolit setelah dilakukan proses heat treatment dengan temperatur 150 oC selama 24 jam dan 300 oC selama 2 jam secara manual mengalami penurunan sebesar 18,55‰ dari yang semula beratnya 2000 gr menjadi 1962,9 gr. Penurunan berat zeolit disebabkan oleh berkurangnya kadar air melalui proses penguapan yang terjadi selama proses heat treatment.
Secara fisika, aktivasi dapat dilakukan dengan pemanasan (heat treatment) pada suhu 300-400 oC dengan udara panas atau dengan sistem vakum untuk melepaskan molekul air [2]. Dari data tersebut dapat diketahui permil daya serap zeolit dalam menyerap gas karbondioksida (CO2). Grafik permil daya serap (‰adsorption) zeolit dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Grafik permil daya serap zeolit alam terhadap gas CO2
Pada Gambar 5, di atas menunjukkan hasil pengukuran perbandingan ‰adsorpsi dengan lama waktu kontak pada proses pemurnian biogas menggunakan zeolit alam sistem kontinyu. Terlihat pada grafik, pada 30 menit pertama berat zeolit mengalami penurunan sebesar -0,153‰ sebesar 0,3 gr, hal itu disebabkan masih adanya campuran debu dalam zeolit yang hilang pada saat dikeluarkan dari purifier untuk proses penimbangan sehingga berat zeolit menjadi berkurang. Kemudian pada 60; 90; 120; 150 menit masing-masing naik 1,022‰; 3,116‰; 4,597‰; 4,75‰ total berat menjadi 1967,2 gr. Efektifitas daya serap tertinggi dengan lama waktu kontak 150 menit 4,75‰. Kenaikan berat zeolit akibat adanya gas karbondioksida yang teradsorpsi oleh adsorbent (zeolit alam).
Adsorbent adalah zat yang dapat menyerap fluida, baik cair maupun gas sehingga nantinya akan membentuk lapisan tipis pada permukaan zat tersebut. Zeolit dengan struktur framework mempunyai luas permukaan yang besar oleh sebab itu, zeolit juga sering disebut sebagai molecular sieve atau molecular mesh (saringan molekuler) karena zeolit memiliki pori–pori berukuran molekuler sehingga mampu memisahkan atau menyaring molekul dengan ukuran tertentu [2]
Proses penyerapan oleh zeolit terjadi karena strukturnya juga mempunyai polaritas yang tinggi [9]. Oleh karena gas H2O adalah senyawa polar maka proses penyerapan tersebut akan membuat ikatan ion sehingga jumlah H2O yang terserap lebih banyak dibandingkan dengan jumlah CO2.
Proses adsorpsi yang terjadi pada penyerapan gas CO2 merupakan adsorpsi fisika yang dikarenakan ikatan yang terbentuk antara adsorbat dan adsorben membentuk interaksi Van Der Walls [10]. Daya tarik antara gas CO2 dan zeolit sangat lemah. Molekul gas CO2 hanya menempel pada permukaan adsorben zeolit. Keseimbangan antara adsorben zeolit dan gas CO2 lebih cepat tercapai dan bersifat reversible. Setelah gas CO2 yang menempel pada permukaan adsorben mencapai keseimbangan, maka adsorben dan adsorbat akan mencapai titik jenuh hingga adsorben tidak mampu mengadsorpsi gas CO2 lagi [10]. Sehingga pada waktu kontak 150 menit dapat disimpulkan zeolit mengalami saturated dengan kapasitas adsorpsi paling tinggi yaitu 4,75‰ dan diperkirakan lapisan multilayer pada permukaan zeolit sudah mencapai batas maksimal.
Pada penelitian ini proses penimbangan berat zeolit menjadi penyebab terjadi penurunan berat zeolit, sehingga terlihat pada grafik setelah lama waktu kontak 180 menit menjadi 0,378‰; 210 menit menjadi 0,22‰; dan 240 menit menjadi 0,25‰.
Pada 210 menit dengan permil daya serap 2,196‰, dapat diartikan bahwa zeolit mengalami proses regenerasi disebabkan lapisan multilayer yang menutupi permukaan zeolit sudah terlepas ke atmosfer secara keseluruhan sehingga zeolit dapat digunakan kembali terlihat pada grafik dengan lama kontak 240 menit.
Pengaruh Laju Aliran Massa Udara terhadap AFR (Air Fuel Ratio)
Data pengukuran laju aliran massa bahan bakar (biogas) dan udara seperti yang tersaji pada Tabel 2 dan Tabel 3 di atas digunakan untuk menghitung AFR (Air Fuel Ratio) pada pembakaran biogas. Grafik perbandingan antara variasi laju aliran massa udara dengan laju aliran massa udara terhadap nilai AFR dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Grafik perbandingan AFR dengan laju aliran massa
Pada Gambar 6 di atas dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi nilai laju bahan udara (ṁa), maka nilai AFR (Air Fuel Ratio) akan semakin meningkat, sebaliknya jika laju aliran bahan bakar (ṁf) semakin tinggi maka nilai AFR (Air Fuel Ratio) akan semakin rendah. Hal ini sesuai dengan rumus perhitungan AFR= ṁa /ṁf dengan begitu maka, semakin besar fraksi massa udara pada campuran udara-bahan bakar maka nilai AFR akan semakin meningkat.
Pengaruh AFR (Air Fuel Ratio) terhadap Rasio Ekivalen dan Karakteristik Nyala Api
Dengan menggunakan metode perhitungan rasio ekivalen sesuai dengan tinjauan pustaka maka dapat ditentukan nilai rasio ekivalen setiap campuran udara-bahan bakar 9,571x10-3 kg/jam; 19,143x10-3 kg/jam; 28,715x10-3 kg/jam dan 38,286x10-3 kg/jam (0,25; 0,5; 0,75 dan 1,0 indikator skala manometer).
Gambar 7. Grafik perbandingan AFR (ṁf 0,25) dan Rasio ekivalen (Ф)
Dari Gambar 7 di atas dapat dilihat bahwa semakin tinggi nilai AFR (ṁf 0,25) maka nilai rasio ekivalen (Ф) akan semakin rendah. Pada grafik tersebut terlihat pada AFR 17,58:1 nilai rasio ekivalen mendekati 1 dengan nilai 0,98, hal ini membuktikan bahwa pada AFR 17,58:1 campuran udara-bahan bakar mendekati stoikiometrik (Gambar 8c). Pada proses pemurnian biogas menggunakan zeolit alam penurunan kadar gas karbon dioksida diuji dengan karakteristik nyala api sebelum dan sesudah pemurnian, Gambar 8 dan Gambar 9.
Gambar 9. Karakteristik nyala api dengan ṁf 0,25 pasca purifikasi
Gambar 8 dan Gambar 9 AFR blow off terjadi pada AFR 29,32:1, dengan nilai rasio ekivalen 0,59.
Gambar 10. Grafik perbandingan AFR (ṁf 0,5) dan Rasio ekivalen (Ф)
Gambar 11. Karakteristik nyala api dengan ṁf 0,5 pra purifikasi
Gambar 12. Karakteristik nyala api dengan ṁf 0,5 pasca purifikasi
Berdasarkan Gambar 11 dan Gambar 12, Pada AFR 17,58:1 sifat nyala mendekati stoikiometri (Gambar 13f) karena nilai rasio ekivalennya mendekati 1, semakin besar nilai AFR nilai rasio pembakarannya semakin kurang dari 1 sehingga sifat campurannya miskin bahan bakar. Hingga pada AFR 29,32 nyala api pada kondisi lift off sebelum akhirnya blow off.
Fenomena lift off terjadi ketika kondisi dimana nyala api tidak menyentuh permukaan mulut tabung pembakar, tetapi agak stabil pada jarak tertentu dari ujung pembakar. Apabila kecepatan aliran cukup rendah, ujung bawah nyala api berada sangat dekat dengan ujung tabung pembakar dan hal ini dikatakan menempel. Jika kecepatan dinaikkan, maka sudut kerucut nyala turun sesuai dengan kondisi α = sin-1(SL/Vu).
Gambar 13. Grafik perbandingan AFR (ṁf 0,75) dan Rasio ekivalen (Ф)
Gambar 14. Karakteristik nyala api dengan ṁf 0,75 pra purifikasi
Gambar 15. Karakteristik nyala api dengan ṁf 0,75 pasca purifikasi
Gambar 14 dan Gambar 15, menunjukkan perbandingan nyala api sebelum dan sesudah pemurnian biogas terlihat pada rasio udara-bahan bakar (ṁf 0,75) ini lebih jelas perbedaan warna nyala apinya dibanding pada rasio udara-bahan bakar yang lain (ṁf 0,75; ṁf 0,75; ṁf 0,75). Penyebab perubahan warna api menjadi kemerahan setelah proses purifikasi adalah kandungan O2 yang kaya karena gas CO2 yang terserap ke dalam pori-pori zeolit tersebut akan diuraikan menjadi satu atom C dan dua atom O. Atom C akan tetap terperangkap di rongga-rongga zeolite sedangkan atom O akan diteruskan [11].
Gambar 16. Grafik perbandingan AFR (ṁf 1,0) dan Rasio ekivalen (Ф)
Gambar 17. Karakteristik nyala api dengan ṁf 1,0 pra purifikasi
Gambar 18. Karakteristik nyala api dengan ṁf 1,0 pasca purifikasi
Gambar 17 dan Gambar 18, Nyala api pada bunsen burner adalah salah satu contoh dari nyala api laminar premix, selain itu istilah lain yang menyebutkan nyala api khas hasil bunsen burner adalah nyala rangkap, yaitu inti nyala premix yang kaya akan bahan bakar dikelilingi dengan nyala difusi.
Pengaruh AFR terhadap Tinggi Nyala Api dan Kecepatan Nyala Api
Hasil rekaman nyala api pembakaran campuran biogas dengan udara yang berupa foto hasil proses framing sebesar 20 fps, dipotong (crop) dengan ukuran 80 mm x 11 mm, dimana 11 mm merupakan ukuran diameter sebenarnya dari nozzle bunsen burner sehingga hasil potongan gambar yang didapat nantinya telah sesuai dengan ukuran yang sebenarnya. Gambar hasil proses cropping tersebut selanjutnya diplot untuk diukur tinggi api dan sudut kerucut api. Sebagai contoh pengukuran sudut api dengan variasi AFR (ṁf 0,25) pada Gambar 19.
Gambar 19. Sudut api dan tinggi nyala api AFR 5,86:1; 11,72:1; 17,58:1 dan 23,44:1
Grafik kecepatan nyala api dari laju aliran massa bahan bakar yang berbeda dengan variasi nilai AFR ditunjukkan pada Gambar 20 berikut ini. Pada Gambar tersebut diketahui bahwa meningkatnya kecepatan nyala api seiring meningkatnya AFR dikarenakan fraksi massa udara yang semakin besar, menyebabkan kecepatan gas reaktan semakin tinggi sehingga sudut kerucut api yang terbentuk semakin besar. Sedangkan tinggi nyala api cenderung menurun seiring meningkatnya AFR.
Gambar 20. Grafik perbandingan kecepatan nyala api dari ṁf yang berbeda dengan variasi AFR
Pada Gambar 21 berikut menunjukkan grafik perbandingan tinggi nyala api dari berbagai variasi AFR dengan laju aliran massa bahan bakar yang berbeda.
Gambar 21. Grafik perbandingan tinggi nyala api dari ṁf yang berbeda dengan variasi AFR
Dari Gambar 21 dapat dilihat bahwa semakin tinggi nilai AFR maka tinggi nyala api akan semakin menurun, hal tersebut dipengaruhi oleh laju aliran massa udara yang semakin tinggi. Tinggi nyala dapat didefinisikan sebagai suatu jarak aksial nyala api dari mulut tabung pembakar sampai kepada suatu titik dimana ujung nyala api tersebut mencapai garis sumbunya. Nyala api mempunyai bentuk geometri dan dimensi yang diperlukan untuk ketepatan tungku pembakaran atau daerah kerja tungku. Kesalahan dalam optimasi bentuk geometri akan menyebabkan rendahnya efisiensi tungku serta menjadikan umur pakai tungku lebih pendek, berpolusi dan akibat lainnya.
Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian ini adalah:
1. Pada waktu kontak 150 menit dapat disimpulkan zeolit mengalami saturated dengan kapasitas adsorpsi paling tinggi yaitu 4,75‰ disebabkan karena lapisan multilayer pada permukaan zeolit sudah mencapai batas maksimal. Pada penelitian ini proses penimbangan berat zeolit menjadi penyebab terjadi penurunan berat zeolit, sehingga terlihat pada grafik setelah lama waktu kontak 180 menit menjadi 0,378‰; 210 menit menjadi 0,22‰; dan 240 menit menjadi 0,25‰. Pada 210 menit, dapat diartikan bahwa zeolit mengalami proses regenerasi disebabkan lapisan multilayer yang menutupi permukaan zeolit sudah terlepas ke atmosfer secara keseluruhan sehingga zeolit dapat digunakan kembali terlihat pada grafik dengan lama kontak 240 menit grafiknya cenderung naik.
2. Laju aliran massa udara yang semakin meningkat dengan laju aliran massa bahan bakar tetap, nilai Air Fuel Ratio (AFR) menjadi semakin meningkat sedangkan nilai rasio ekivalen menurun. Penurunan rasio ekivalen mempengaruhi karakteristik campuran nyala api pembakaran biogas (lean, stoikiometric, atau rich). Laju aliran massa bahan bakar sebanding dengan burning load. Jadi dengan meningkatnya burning load, nilai AFR akan semakin menurun.
3. Karakteristik nyala api mendekati stoikiometrik dengan rasio mendekati nilai 1 pada variasi laju aliran massa bahan bakar skala 0,25, 0,5 0,75 ml terjadi pada AFR 17,58:1 dengan nilai rasio ekivalen 0,98 sedangkan pada skala 1,0 ml sifat keseluruhan variasi AFR bersifat kaya (rich mixture). Kondisi nyala api blow off terjadi pada AFR 29,3:1 dengan nilai rasio ekivalen 0,59 hanya terjadi pada variasi laju aliran massa bahan bakar 0,25 dan 0,5 (indikator skala manometer).
4. Kecepatan nyala dan tinggi api dengan variasi AFR menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai AFR yang diberikan maka kecepatan nyala akan semakin tinggi sebaliknya tinggi api menjadi semakin rendah. Fenomena nyala api blow off pada AFR 29,3:1 (ṁf 0,25 dan ṁf 0,5) dengan kecepatan reaktan sebesar 95,03 cm/dt karena kondisi nyala api blow off sehingga dengan metode pengukuran kecepatan yang sama pada AFR sebelumnya tidak dapat diketahui secara pasti nilai kecepatanya. Namun diprediksi pada AFR 29,3:1 memiliki kecepatan nyala api yang lebih tinggi dari kecepatan api pada AFR sebelumnya.
Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan oleh penulis dari hasil penelitian ini yaitu antara lain:
1. Dalam pengukuran laju aliran massa udara dan bahan bakar diperlukan alat yang dapat mengukur debit aliran dibawah 0,024 lt/s agar didapat pengukuran yang lebih teliti.
2. Penggunaan alat detektor biogas sangat diperlukan untuk penelitian selanjutnya agar kandungan biogas sebelum dan sesudah purifikasi terdeteksi dengan akurat.
3. Dalam pengujian efektifitas daya serap melalui analisa berat zeolit sebaiknya dilakukan pengulangan pengujian menggunakan zeolit ukuran yang sama supaya data yang dihasilkan lebih akurat (metode statistik).
4. Analisa permukaan zeolit alam menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopic) diperlukan untuk mengetahui informasi kristallografi serta porositas zeolit alam sebagai acuan untuk mendesain ukuran dan perlakuan pada adsorbent yang paling efektif dalam proses penyerapan gas karbondioksida pada biogas.
5. Perlu dilakukan penelitian lanjutan terhadap penyebab nyala api lift off atau blow off pada pembakaran biogas dan uapaya pencegahannya menggunakan bluff body atau benda penghalang di daerah aliran gas berupa ring stabilizer, batang logam atau kawat jaring.
6. Dalam mendesain burner/kompor biogas yang efisien diperlukan informasi nilai kalori pada setiap variasi AFR pada pembakaran biogas pra purifikasi dan pasca purifikasi maka diperlukan adanya penelitian yang lebih lanjut untuk mengukur temperatur api hasil pembakaran biogas.
Daftar Pustaka
[1]Al Seadi et al. 2008. Biogas Handbook. Denmark: University of Southern Denmark Esbjerg, Niels Bohrs Vej 9-10 DK-6700 Esbjerg.
[2]Sugiarto et al. 2013. Purifikasi Biogas Sistem Kontinyu Menggunakan Zeolit. Jurnal Rekayasa Mesin Vol.4, No.1 Tahun 2013 1-10. Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang.
[3]Hardjono. 1989. Operasi Teknik Kimia II. edisi pertama. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
[4]Wardana, ING. 2008. Bahan Bakar dan Teknologi Pembakaran. PT. Danar Wijaya. Brawijaya University Press Malang.
[5]Ilminnafik. 2010. Pengaruh Karbondioksida pada Kecepatan Pembakaran dari Refrigeran Hidrokarbon, Proceeding Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin (SNTTM) ke-9, Palembang.
[6]Buffam, Julie & Kevin Cox. 2008. Measurement of Laminar Burning Velocity of Methane Air Mixtures Using a Slot and Bunsen Burner.
[7]Takahashi, Fumaki & Schmoll, W. John. 1990. Lifting criteria of jet diffusion flame. 23(1):677-683.
[8]Pranoto et al. 2013. Pengaruh Variasi Air Fuel Ratio (AFR) terhadap Karakteristik Api Pembakaran Premixed Minyak Kapuk pada Burner. Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang.
[9]Ginting, et al. 2007. Karakterisasi Komposisi Kimia, Luas Permukaan Pori dan Sifat Termal dari Zeolit Bayah, Tasikmalaya dan Lampung, J. Tek. Bhn. Nukl. Vol. 3 no.1. Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir-Batan, Serpong.
[10]Widyastuti, et al. (2013) Karbon Aktif dari Limbah Cangkang Sawit sebagai Adsorben Gas dalam Biogas Hasil Fermentasi Anaerobik Sampah Organik. Program Studi Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura.
[11]Hamidi, et al. (2011). Peningkatan Kualitas Bahan Bakar Biogas Melalui Proses Pemurnian dengan Zeolit Alam. Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang.