Pada
analisa Pengaruh AFR (Air Fuel Ratio)
terhadap rasio ekivalen (equivalent ratio)
A. Pada pembakaran biogas yang mengacu pada data laju aliran massa terhadap AFR
pada Tabel 4.3, Tabel 4.4 dan Tabel 4.5. Data yang diperlukan adalah nilai AFR
stoikiometrik dan nilai AFR aktual pada setiap variasi laju aliran massa bahan
bakar (biogas).
Dengan menggunakan metode perhitungan
rasio ekivalen sesuai dengan tinjauan pustaka (Persamaan 2.9) maka dapat
ditentukan nilai rasio ekivalen setiap campuran udara-bahan bakar 9,571 x 10-3 kg/jam;
19,143 x 10-3 kg/jam; 28,715 x 10-3 kg/jam dan 38,286 x 10-3
kg/jam (0,25; 0,5; 0,75 dan 1,0 indikator skala manometer) (perhitungannya
dapat dilihat pada Lampiran A.3).
Nilai rasio ekivalen ini juga digunakan untuk
mendeskripsikan karakteristik nyala api dengan variasi laju aliran massa bahan
bakar sebelum dan sesudah pemurnian (Gambar 4.9 dan Gambar 4.10) untuk
mengindikasikan kandungan gas karbon dioksida sebagai hasil efektivitas
adsorpsi dengan zeolit alam. Gambar karakteristik nyala api tersebut adalah
hasil ekstrasi dari video menjadi foto diolah menjadi 20 fps yang kemudian diurutkan
dengan tingkatan 10 detik pada setiap variasi AFR.
Grafik hasil perhitungan rasio
ekivalen dengan AFR ṁf 0,25 tersaji pada grafik Gambar 4.8.
Gambar
4.8 Grafik perbandingan AFR (ṁf 0,25) vs Rasio ekivalen (Ф)
Dari
Gambar 4.8 di atas dapat dilihat bahwa semakin tinggi nilai AFR (ṁf 0,25)
maka nilai rasio ekivalen (Ф) akan semakin rendah. Rasio ekivalen ini digunakan
untuk mendefinisikan perbandingan antara rasio udara-bahan bakar (AFR)
stoikiometrik (metana 17,2) (perhitungan pada Lampiran A.2) dengan rasio
udara-bahan bakar (AFR) aktual yang didapat dari perhitungan perbandingan
variasi laju aliran massa bahan bakar (ṁf 0,25) dengan variasi
laju aliran massa udara. Pada grafik tersebut terlihat pada AFR 17,59:1 nilai
rasio ekivalen mendekati 1 yaitu dengan nilai 0,98, hal ini membuktikan bahwa
pada AFR 17,59:1 campuran udara-bahan bakar mendekati stoikiomerik (Gambar 4.9c).
Berbeda dengan campuran udara-bahan bakar pada AFR 5,86 dan AFR 11,73:1
bersifat kaya (rich mixture) (Gambar
4.9a dan Gambar 4.9b) dikarenakan nilai rasio ekivalen Ф > 1 yaitu 2,94 dan 1,47. Selanjutnya
pada AFR 23,45:1, rasio ekivalen < 1 dengan nilai 0,04 maka campuran
bersifat miskin (lean mixture) (Gambar
4.9d).
Pada proses pemurnian biogas menggunakan zeolit alam
penurunan kadar gas karbon dioksida diuji dengan karakteristik nyala api sebelum
dan sesudah pemurnian. (Gambar 4.9 dan Gambar 4.10).
Gambar 4.9 dan 4.10 adalah perbandingan
karakteristik nyala api sebelum dan sesudah pemurnian dengan laju aliran massa
bahan bakar 9,571
x 10-3 kg/jam. Gambar ekstrasi ini diurutkan pada tingkatan 10 detik
sesuai dengan pemindahan ke tingkat variasi laju aliran massa udara yang
semakin tinggi, dan jarak antar Gambar 4.9a dan Gambar 4.10b diambil gambar
pada frame yang mempunyai nyala api
yang stabil agar memudahkan untuk diukur tinggi api dan sudut geometri api sehingga
nilai tingkatan detik tidak sama melainkan mempunyai selisih 0,05 detik.
Nilai AFR berturut turut
adalah 5,86:1; 11,73:1; 17,59:1; 23,45:1; 29,32:1; 35,18:1; 41,04:1; 46,91:1;
52,77:1; 58,63:1. Nyala api berwarna biru menandakan pembakaran yang terjadi
mendekati sempurna dimana sebagian besar didominasi pembakaran premixed. Pada daerah berbentuk kerucut
atau segitiga disebut luminous flame
terjadi reaksi dan pelepasan energi panas sebagai entalpi reaksi gas yang
terbakar, sedangkan dibawahnya terdapat daerah gelap (dark zone), yaitu tempat dimana molekul gas yang belum terbakar
berubah alirannya dari arah sejajar sumbu tabung pembakar ke arah luar tegak
lurus permukaan batas daerah gelap (Taufiq, 2008).
Berdasarkan Gambar 4.9 dan Gambar 4.10, Pada AFR 17,59:1 sifat
nyala mendekati stoikiometri (Gambar 4.10c
) karena nilai rasio ekivalennya mendekati 1, semakin besar nilai AFR nilai
rasio pembakarannya semakin kurang dari 1 sehingga sifat campurannya miskin
bahan bakar. Hingga pada AFR 29,32:1 nyala api pada kondisi lift off.
Fenomena lift
off
terjadi ketika kondisi dimana nyala api tidak menyentuh permukaan mulut tabung
pembakar, tetapi agak stabil pada jarak tertentu dari ujung pembakar. Sama
seperti halnya flashback, fenomena lift off juga berhubungan dengan
kecepatan nyala api laminar lokal dan kecepatan aliran lokal yang sebanding. Apabila
kecepatan aliran cukup rendah, ujung bawah nyala api berada sangat dekat dengan
ujung tabung pembakar dan hal ini dikatakan menempel. Jika kecepatan dinaikkan,
maka sudut kerucut nyala turun sesuai dengan kondisi α = sin-1(SL/Vu) dan ujung nyala bergeser sedikit ke bawah. Dengan
meningkatkan aliran hingga mencapai kecepatan kritis, ujung nyala akan meloncat
ke posisi jauh dari ujung (mulut) pembakar dan nyala dikatakan terangkat. Kondisi
nyala terangkat inilah yang dinamakan sebagai lift off dan jika kecepatan aliran terus dinaikkan, maka nyala
secara kasar akan padam (blow off)
dan kondisi ini tidak diinginkan.
Penyebab perubahan warna api menjadi kemerahan
setelah proses purifikasi adalah proses penyerapan gas
CO2 yang diserap ke dalam rongga-rongga zeolite. Gas CO2
yang terserap tersebut akan diuraikan menjadi satu atom C dan dua atom O. Atom
C akan tetap terperangkap di rongga-rongga zeolite sedangkan atom O akan
diteruskan. Menurut IUPAC (1997), penyebab terjadinya penyerapan gas CO2
ada 3 macam, yaitu akibat reaksi termal, elektrolisis, dan adsorbent.
Zeolite memiliki sifat yaitu sebagai adsorbent sehingga proses
penyerapan CO2 dapat terjadi. Berikut ini adalah reaksi penguraian
gas CO2 menjadi gas CO dan O2 sama dengan 2CO2
à
2CO + O2. Zeolite memiliki kemampuan untuk meningkatkan
kemurnian biogas karena mampu menyerap semua gas pengotor utama yaitu uap air,
CO2 dan H2S, namun tidak menyerap gas utama yang ingin
dimurnikan yaitu CH4 (Wahono et
al, 2008).
Gas oksigen (O2)
yang diteruskan kemudian bercampur pada biogas yang terpurifikasi yang menyebabkan
kandungan O2 kaya. Gas O2 tersebut mengalir bersama
biogas dan ketika dilakukan proses pembakaran menunjukkan warna nyala api
cenderung kemerah-merahan. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai kalor pembakaran
biogas pasca purifikasi lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kalor pembakaran
biogas pra purifikasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar