Sabtu, 29 Maret 2014

Biogas Flame Test

Pada analisa Pengaruh AFR (Air Fuel Ratio) terhadap rasio ekivalen (equivalent ratio

A. Pada pembakaran biogas yang mengacu pada data laju aliran massa terhadap AFR pada Tabel 4.3, Tabel 4.4 dan Tabel 4.5. Data yang diperlukan adalah nilai AFR stoikiometrik dan nilai AFR aktual pada setiap variasi laju aliran massa bahan bakar (biogas).
            Dengan menggunakan metode perhitungan rasio ekivalen sesuai dengan tinjauan pustaka (Persamaan 2.9) maka dapat ditentukan nilai rasio ekivalen setiap campuran udara-bahan bakar 9,571 x 10-3 kg/jam; 19,143 x 10-3 kg/jam; 28,715 x 10-3 kg/jam dan 38,286 x 10-3 kg/jam (0,25; 0,5; 0,75 dan 1,0 indikator skala manometer) (perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran A.3).
            Nilai rasio ekivalen ini juga digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik nyala api dengan variasi laju aliran massa bahan bakar sebelum dan sesudah pemurnian (Gambar 4.9 dan Gambar 4.10) untuk mengindikasikan kandungan gas karbon dioksida sebagai hasil efektivitas adsorpsi dengan zeolit alam. Gambar karakteristik nyala api tersebut adalah hasil ekstrasi dari video menjadi foto diolah menjadi 20 fps yang kemudian diurutkan dengan tingkatan 10 detik pada setiap variasi AFR.
            Grafik hasil perhitungan rasio ekivalen dengan AFR ṁf 0,25 tersaji pada grafik Gambar 4.8.
Gambar 4.8 Grafik perbandingan AFR (ṁf  0,25) vs Rasio ekivalen (Ф)

            Dari Gambar 4.8 di atas dapat dilihat bahwa semakin tinggi nilai AFR (ṁf  0,25) maka nilai rasio ekivalen (Ф) akan semakin rendah. Rasio ekivalen ini digunakan untuk mendefinisikan perbandingan antara rasio udara-bahan bakar (AFR) stoikiometrik (metana 17,2) (perhitungan pada Lampiran A.2) dengan rasio udara-bahan bakar (AFR) aktual yang didapat dari perhitungan perbandingan variasi laju aliran massa bahan bakar (ṁf  0,25) dengan variasi laju aliran massa udara. Pada grafik tersebut terlihat pada AFR 17,59:1 nilai rasio ekivalen mendekati 1 yaitu dengan nilai 0,98, hal ini membuktikan bahwa pada AFR 17,59:1 campuran udara-bahan bakar mendekati stoikiomerik (Gambar 4.9c). Berbeda dengan campuran udara-bahan bakar pada AFR 5,86 dan AFR 11,73:1 bersifat kaya (rich mixture) (Gambar 4.9a dan Gambar 4.9b) dikarenakan nilai rasio ekivalen Ф > 1 yaitu 2,94 dan 1,47. Selanjutnya pada AFR 23,45:1, rasio ekivalen < 1 dengan nilai 0,04 maka campuran bersifat miskin (lean mixture) (Gambar 4.9d).
            Pada proses pemurnian biogas menggunakan zeolit alam penurunan kadar gas karbon dioksida diuji dengan karakteristik nyala api sebelum dan sesudah pemurnian. (Gambar 4.9 dan Gambar 4.10).


Gambar 4.9 dan 4.10 adalah perbandingan karakteristik nyala api sebelum dan sesudah pemurnian dengan laju aliran massa bahan bakar 9,571 x 10-3 kg/jam. Gambar ekstrasi ini diurutkan pada tingkatan 10 detik sesuai dengan pemindahan ke tingkat variasi laju aliran massa udara yang semakin tinggi, dan jarak antar Gambar 4.9a dan Gambar 4.10b diambil gambar pada frame yang mempunyai nyala api yang stabil agar memudahkan untuk diukur tinggi api dan sudut geometri api sehingga nilai tingkatan detik tidak sama melainkan mempunyai selisih 0,05 detik.

Nilai AFR berturut turut adalah 5,86:1; 11,73:1; 17,59:1; 23,45:1; 29,32:1; 35,18:1; 41,04:1; 46,91:1; 52,77:1; 58,63:1. Nyala api berwarna biru menandakan pembakaran yang terjadi mendekati sempurna dimana sebagian besar didominasi pembakaran premixed. Pada daerah berbentuk kerucut atau segitiga disebut luminous flame terjadi reaksi dan pelepasan energi panas sebagai entalpi reaksi gas yang terbakar, sedangkan dibawahnya terdapat daerah gelap (dark zone), yaitu tempat dimana molekul gas yang belum terbakar berubah alirannya dari arah sejajar sumbu tabung pembakar ke arah luar tegak lurus permukaan batas daerah gelap (Taufiq, 2008). 
Berdasarkan Gambar 4.9 dan Gambar 4.10, Pada AFR 17,59:1 sifat nyala mendekati stoikiometri (Gambar 4.10c ) karena nilai rasio ekivalennya mendekati 1, semakin besar nilai AFR nilai rasio pembakarannya semakin kurang dari 1 sehingga sifat campurannya miskin bahan bakar. Hingga pada AFR 29,32:1 nyala api pada kondisi lift off.
            Fenomena lift off terjadi ketika kondisi dimana nyala api tidak menyentuh permukaan mulut tabung pembakar, tetapi agak stabil pada jarak tertentu dari ujung pembakar. Sama seperti halnya flashback, fenomena lift off juga berhubungan dengan kecepatan nyala api laminar lokal dan kecepatan aliran lokal yang sebanding. Apabila kecepatan aliran cukup rendah, ujung bawah nyala api berada sangat dekat dengan ujung tabung pembakar dan hal ini dikatakan menempel. Jika kecepatan dinaikkan, maka sudut kerucut nyala turun sesuai dengan kondisi α = sin-1(SL/Vu) dan ujung nyala bergeser sedikit ke bawah. Dengan meningkatkan aliran hingga mencapai kecepatan kritis, ujung nyala akan meloncat ke posisi jauh dari ujung (mulut) pembakar dan nyala dikatakan terangkat. Kondisi nyala terangkat inilah yang dinamakan sebagai lift off dan jika kecepatan aliran terus dinaikkan, maka nyala secara kasar akan padam (blow off) dan kondisi ini tidak diinginkan.
Penyebab perubahan warna api menjadi kemerahan setelah proses purifikasi adalah proses penyerapan gas CO2 yang diserap ke dalam rongga-rongga zeolite. Gas CO2 yang terserap tersebut akan diuraikan menjadi satu atom C dan dua atom O. Atom C akan tetap terperangkap di rongga-rongga zeolite sedangkan atom O akan diteruskan. Menurut IUPAC (1997), penyebab terjadinya penyerapan gas CO2 ada 3 macam, yaitu akibat reaksi termal, elektrolisis, dan adsorbent. Zeolite memiliki sifat yaitu sebagai adsorbent sehingga proses penyerapan CO2 dapat terjadi. Berikut ini adalah reaksi penguraian gas CO2 menjadi gas CO dan O2 sama dengan 2CO2 à 2CO + O2. Zeolite memiliki kemampuan untuk meningkatkan kemurnian biogas karena mampu menyerap semua gas pengotor utama yaitu uap air, CO2 dan H2S, namun tidak menyerap gas utama yang ingin dimurnikan yaitu CH4 (Wahono et al, 2008).
Gas oksigen (O2) yang diteruskan kemudian bercampur pada biogas yang terpurifikasi yang menyebabkan kandungan O2 kaya. Gas O2 tersebut mengalir bersama biogas dan ketika dilakukan proses pembakaran menunjukkan warna nyala api cenderung kemerah-merahan. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai kalor pembakaran biogas pasca purifikasi lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kalor pembakaran biogas pra purifikasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar